Jual Buku The Digital Origins of Democracy and Dictatorship: Information Technology and Political Islam

Judul: The Digital Origins of Democracy and Dictatorship: Information Technology and Political Islam
Penulis: Philip Howard
Penerbit: Oxford University Press, 2011
Bahasa: Inggris
Tebal: 300 halaman
Buku Fisik: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Ebook PDF: Rp. 5.000 (email)
SMS/WA: 085225918312
 

Gelombang revolusi di Timur Tengah yang terjadi belakangan ini telah mengubah cara pandang dalam melihat peran teknologi informasi dalam gerakan massa. Sejumlah media di Barat lalu menahbiskannya sebagai "Revolusi Twitter". Keberhasilan gerilyawan bersenjata Zapatista dalam meraup dukungan internasional melalui internet dari pelosok Chiapas, Meksiko, banyak dicatat sebagai episode pertama revolusi ini. Protes-protes serupa di Kirgiztan dan Iran pasca-pemilu 2009 pun ikut menambah catatan kaki.

Buku Digital Origins of Democrary and Dictatorship: Information Technology and Political Islam karya Philip Howard terbit hanya beberapa bulan sebelum revolusi di Timur tengah meletus. Lewat kajian peran teknologi informasi di negeri berpenduduk mayoritas muslim sejak 1994, Howard berkesimpulan: "Internet dan telepon genggam tidak melahirkan transisi demokrasi. Tapi tanpa teknologi informasi, transisi demokrasi mustahil terjadi."

Sebagaimana dibahas dalam banyak tulisan, internet memungkinkan tumbuhnya wacana-wacana demokrasi di negeri muslim yang melarang partai politik. Seiring dengan pesatnya perkembangan situs-situs media sosial, seperti yang dicatat Howard, ide-ide bersaing satu sama lain dan membentuk kelompok-kelompoknya sendiri --baik di ruang maya maupun di jalanan.

Howard mencontohkan peran para blogger yang menghubungkan pengunjuk rasa di kota dengan para pemilih di pedesaan dan ulama progresif yang dalam situasi normal jarang sekali berhubungan. Komunikasi politik yang independen dari negara dan manipulasi elite agama menjadi mungkin. Dalam kasus Iran, sangat jelas bahwa negara tersebut tidak siap mengantisipasi perkembangan tersebut. Bahkan tetap mengandalkan langkah-langkah politik lama, seperti memberangus media cetak dan menuduh lawan politiknya, yakni kubu pro-Mousavi, telah menyebarkan informasi palsu.

Di sisi lain, Howard pun mencatat sejumlah kelemahan. Pertama, perkembangan teknologi baru ini bukan sekadar menyediakan alat yang tidak sepenuhnya bisa dimonopoli satu kelompok saja. Negara pun aktif memproduksi aturan baru, membatasi akses dan konten media dengan berbagai cara, juga memanfaatkan jalur informasi yang sama untuk menyebarkan wacana tandingan. Howard mencontohkannya, dalam kasus Iran pasca-protes, Garda Revolusi membuat sekitar 10.000 blog pro-Ahmadinejad.

Kedua, distribusi teknologi yang tidak merata agaknya membelah konstituen politik menjadi dua kelompok besar, yaitu yang terkoneksi dengan internet dan yang tidak. Memang persoalan distribusi tersebut sangat tergantung kekuatan modal dan sejumlah faktor lainnya, tapi bukan berarti kondisi ini tidak bisa ditembus. Tantangan yang kemudian dihadapi oleh gerakan pro-demokrasi adalah mengubah cara kerja, model distribusi, maupun kebijakan kanal-kanal informasi tradisional.

Ketiga, media jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook cenderung menciptakan massa yang cair. Tidak mengherankan apabila Howard sangat berhati-hati membedakan gerakan massa yang cair, spontan, dan anonim ini dari gerakan kader yang terorganisasi rapi. Di Mesir pasca-tumbangnya Hosni Mubarak beberapa waktu lalu, organ yang paling kuat dan siap bertarung dalam pemilu terdekat adalah Ikhwanul Muslimin, bahkan mengungguli kelompok-kelompok kiri dan liberal, yang ironisnya lebih banyak berperan selama penggulingan Mubarak.

Akhirnya, kesimpulan yang dapat ditarik dari buku ini adalah bahwa perkembangan teknologi media informasi lebih tepat diletakkan sebagai konteks baru dalam pergulatan politik. Ia menciptakan ruang kontestasi, kesempatan, sekaligus tantangan baru bagi pelaku politik, tapi tidak bisa menggeser peran ideologi dan pengorganisasian konvensional. Buku Howard adalah sekaligus jawaban bagi para pakar media yang terlalu melebih-lebihkan peranan media sebagai pendorong demokrasi sejak meledaknya protes di Iran.