Pengetahuan dan Kesucian (Seyyed Hossein Nasr)

Gambar Produk 1
Promo
Terlaris
Rp 10.000 Rp 5.000
Judul: Pengetahuan dan Kesucian
Penulis: Seyyed Hossein Nasr
Penerbit: Pustaka Pelajar, 1997
Isi: 423 halaman (7 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF Scan (teks tidak bisa dicopy)

Filsuf Iran Seyyed Hossein Nasr diakui kepiawaiannya dalam pergulatan pemikiran sufisme. Sejak 1960-an, dari tangannya telah mengalir karya-karya besar dalam bahasa Inggris. Ia diakui sebagai salah seorang dari tiga begawan Islam -di samping Fazlur Rahman dan Ismail R. Faruki. Pemikiran- pemikirannya memukau pembaca Barat dan membuat mereka respek terhadap pemikiran Islam, yang sebelumnya dianggap tidak memiliki kontribusi besar dalam wacana pemikiran Barat.

Dalam "melawat" ke Barat, Nasr banyak mengintroduksi pemikiran- pemikiran Islam aliran Persia. Memang sejarah mencatat bahwa sebagian besar pemikiran Islam adalah produk Persia -mulai dari filsafat, kalam, tasawuf, hingga sains dan kesenian. Nasr juga membangkitkan kembali filsafat perenial (perennial philosophy) -filsafat yang mencari titik temu di tingkat transenden dari agama-agama yang ada.

Filsafat perenial itu sendiri sempat berabad-abad terkubur dalam museum perpustakaan. Setelah lama dilupakan, Aldous Huxley, filsuf mistik Timur, memperkenalkan kembali disiplin itu kepada masyarakat Barat lewat bukunya yang juga berjudul The Perennial Philosophy (1948). Namun kajian Nasr terasa lebih dari apa yang telah dicapai Huxley. Nasr memberikan muatan politis yang mendalam, sekaligus muatan Islam yang selama ini diabaikan oleh para ahli filsafat perenial.

Nasr sendiri aktif membangunkan kembali filsafat parenial ini sejak 1960-an, setelah sebelumnya tiga filsuf kawakan, yaitu Ananda Coomaraswamy, Rene Guenon, dan Frithjof Schuon, mencoba memasukkannya ke dalam diskursus filsafat Barat. Bahkan Nasr menyebut Frithjof Schuon, filsuf Prancis itu, sebagai guru terbesar filsafat perenial sepanjang abad ini. Wajar bila pada akhir 1980-an, ketika ulang tahun Schuon ke-85, Nasr bersemangat menyunting dua buku yang dipersembahkan kepada sang guru, yaitu The Essential Writing of Frithjof Schuon dan The Heart of Religion.

Ide-ide Nasr tentang filsafat perenial tersebar dalam berbagai makalah dan jurnal. Baru setelah memperoleh undangan untuk menulis dan mengajar pada program Gifford Lectures di Universitas Edinburgh pada 1981, ia menulis buku utuh yang menampung seluruh obsesinya sebagai pemikir Islam. Gifford Lectures adalah tempat riset bergengsi. Hanya para pemikir terkemuka yang diundang datang. Nasr adalah filsuf Timur pertama, juga muslim pertama, yang diundang dalam program Gifford Lectures. Karena itu ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

Dari risetnya atas karya para pakar yang menggalang kerja sama dengan Gifford Lectures, Nasr mendapatkan kesan bahwa para filsuf umumnya terjebak dalam perspektif Barat yang sekuler ketika hendak menguraikan masalah filsafat dan agama. Maka Nasr memperkenalkan kerangka berpikir dan gagasan-gagasan Timur lewat buku Pengetahuan dan Kesucian ini.

Istilah kesucian (atau Yang Suci, the Sacred), yang dipakai Nasr dalam buku ini, memang bisa membuat mereka yang terbiasa dengan filsafat agama ala Barat bisa kehilangan orientasi. Sebab biasanya pengetahuan selalu dianggap bersifat sekuler. Karena itu pendekatan atas filsafat agama selalu bersifat sekuler: berusaha menyajikan filsafat yang tough minded - objektif, rasional, dan menghindari bau mistik.

Nasr mencoba meyakinkan pembaca bahwa pada awalnya semua pengetahuan bersifat suci, membawa manusia pada kesadaran diri, dan mendorong ke arah kebahagiaan. Pengetahuan selalu menjadi jalan yang akan membawa manusia kepada "Realitas Ultim" -dalam agama disebut sebagai Tuhan. Pengetahuan tak pernah membawa manusia menjauh dari Tuhan, seperti realitas yang bisa ditemukan dalam filsafat agama dewasa ini, lewat pemikiran ateisme ataupun sekularisme.

Seluruh buku Pengetahuan dan Kesucian ini memaparkan wacana metafisik yang mempertemukan agama-agama dengan tradisi-tradisi spiritual yang otentik pada satu titik kesatuan transenden, yaitu Tuhan itu sendiri. Buku ini dimulai dengan cerita mengenai hilangnya sakralitas pengetahuan di Barat. Ini mengakibatkan, menurut istilah Nasr, hilangnya dasar-dasar transendental yang buntutnya mendorong terjadinya krisis kebudayaan.

Nasr melihat adanya penemuan kembali kesucian dan kebangkitan dari yang disebutnya "Tradisi Primordial" (The Rediscovery of Sacred: The Revival of Tradition). Fenomena yang diamati Nasr sebagai kebangkitan "Yang Suci" dalam kebudayaan manusia akhir- akhir ini memberikan secercah harapan, yang bisa menyelamatkan umat manusia dari kehancuran.

Dengan bersemangat dan piawai, tapi dengan bahasa sederhana, Nasr menguraikan tema-tema keabadian manusia, alam semesta, perbedaan dunia abadi dan dunia temporal, dan tentang kesucian. Uraian Nasr dalam seluruh bab terasa profetis, dan membawa misi dakwah yang sarat wacana langit. Kiranya kita perlu memberi acungan jempol dan salut atas usaha penerjemah yang menghadirkan buku yang telah lama ditunggu oleh peminat studi agama-agama ini. Ada baiknya jika dalam penerbitan yang akan datang betul-betul diperhatikan kualitas penyuntingan. Salah satu kelebihan karya-karya Nasr adalah bahasanya yang lugas dan enak dibaca. Namun membaca terjemahan ini terkesan agak meletihkan.