Hikayat Kadiroen: Sebuah Novel (Semaoen)

Gambar Produk 1
Promo
Rp 10.000 Rp 5.000
Judul: Hikayat Kadiroen: Sebuah Novel
Penulis: Semaoen
Penerbit: Bentang Budaya, 2000
Isi: 248 halaman (5 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF Scan (teks tidak bisa dicopy)

Periode pasca-Orde Baru membuka peluang bagi suara- suara ideologis komunis yang semula terbungkamkan. Beberapa buku sejarah di sekitar G-30-S/PKI, yang dilihat dari perspektif mantan tahanan politik PKI, diterbitkan. Para mantan tapol itu juga mulai berani berjuang "membersihkan" citra diri yang sebelumnya "dinodai" penguasa Orde Baru.

Gejala mutakhir adalah penerbitan ulang karya-karya sastra tokoh PKI dari zaman kolonial Belanda, tepatnya awal abad XX. Misalnya karya Mas Marco yang berjudul Student Hijo. Penerbitan karya-karya sastra itu akan menjadi sumbangan bagi tidak hanya "pembersihan" nama dan ideologi orang-orang komunis, melainkan juga bagi sejarah sastra Indonesia.

Pada masa kejayaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), beberapa aktivis komunis berusaha menulis ulang sejarah sastra Indonesia. Misalnya yang dilakukan Bakri Siregar dengan menempatkan tokoh-tokoh sosialis sebagai pusatnya, dan karya Multatuli sebagai pelopornya. Namun, setelah G-30-S/PKI, usaha itu kandas total.

Selama Orde Baru, karya-karya kaum komunis dicitrakan sebagai karya yang menyubordinasikan estetika di bawah kepentingan politik. Citra itu klop dengan salah satu slogan PKI: "Politik sebagai Panglima". Dengan citra demikian, kekuatan sastra dominan Orde Baru mendapat dalih untuk menyingkirkan karya-karya itu.

Novel karya Semaoen, Hikajat Kadiroen, yang diterbitkan kantor PKI pada awal 1920, dapat dikatakan membuktikan hal sebaliknya. Dalam karya itu terlihat, betapa dorongan-dorongan politik tersubordinasikan oleh kekuatan- kekuatan kultural. Maka slogan yang bisa ditempelkan padanya bukanlah politik sebagai panglima, melainkan kebudayaan.

Novel ini jelas berbau komunis, karena ditulis anggota PKI. Jalan ceritanya pun mengarah pada ideologi sosialis/komunis. Diceritakan bahwa Kadiroen yang cerdas, kaya raya, dan menjadi birokrat kolonial akhirnya berbalik arah. Padahal, ia sudah mendapat bantuan dan dukungan dari beberapa pejabat kolonial.

Kadiroen mendapat pencerahan setelah mendengar pidato Tjipto mengenai kapitalisme. Juga setelah berkenalan dan belajar pada Sariman, pimpinan redaksi surat kabar PKI, Sinar Ra'jat. Ia memutuskan menjadi penulis di surat kabar itu, meskipun harus melepas kariernya yang cemerlang dalam birokrasi kolonial.

Ada gagasan mengenai realisme sosialis di dalamnya. Juga diskusi mengenai prinsip-prinsip dasar tentang kapitalisme dan jalan menuju sosialisme. Tetapi, gagasan itu tidak mampu menguasai dunia sosial imajiner dalam karya ini. Novel ini lebih dikuasai cerita perjalanan sukses individu borjuis dalam mencapai idamannya, sejenis picaresque, cerita cinta romantik yang menghanyutkan segala daya pikir dan tindakan.

Kepanglimaan budaya yang amat menakjubkan dalam karya ini adalah kuatnya gagasan-gagasan mengenai ketuhanan sebagai pendorong aktivitas individual serta sosial. Di dalamnya, hubungan antara gagasan ketuhanan dan materialisme-dialektik marxis sama sekali tidak problematik. Tuhan masih merupakan apa yang disebut Berger sebagai "payung suci" bagi program politik sosialis/komunis.

Dalam konteks ini, kecenderungan untuk mempertentangkan radikal komunisme dengan agama menjadi amat absurd. Gagasan Presiden Gus Dur mencabut larangan ajaran komunis jadinya amat masuk akal. Dalam konteks "kebudayaan sebagai panglima", komunisme yang materialistik-dialektik dapat bercampur dengan feodalisme dan teisme, bahkan kapitalisme. Sungguh, tak ada yang tak mungkin dalam kebudayaan.