Berkenalan dengan Eksistensialisme
Judul: Berkenalan dengan Eksistensialisme
Penulis: Fuad Hassan
Penerbit: Pustaka Jaya, 1997
Isi: 141 Halaman (4 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF Scan (teks tidak bisa dicopy)
Sebuah buku yang enak dibaca untuk topik ribet semacan filsafat eksistensialisme. Penggambaran pandangan filsafat dari nama-nama besar eksistensialisme di buku ini akan nyangkut di kepala anda. Sangat menarik menyaksikan bagaimana manusia dengan pikirannya menyelami keberadaan atau kemanusiaannya. Bagi filsuf eksistensialis tentu saja jargon utamanya adalah 'eksistensi mendahului esensi'. Hal lain yang juga jadi sorotan filsuf kelompok ini adalah pentingnya kebebasan sebagai sarana dan syarat mutlak agar manusia bisa meng-ADA. Bahkan Nietzsche secara lebih tegas mengatakan bahwa gagasan atau sosok tuhan perlu mati supaya eksistensi manusia mencapai puncaknya. 'God is dead', katanya.
Sebenarnya kita dalam hidup sehari-hari sering berfilsafat. Dalam obrolan di bus kota, di pasar, di kantor atau dalam acara-acara sosial. "Hidup ini hanya sementara". "Gak ada kesenangan dalam hidup ini. Kesenangan hanya ada setelah maut menjemput, di surga nanti" dan seterusnya dan seterusnya. Filsafat 'rumahan' begini tentunya tidak akan berkembang menjadi rumusan yang mengikuti kaidah logika filsafat. Tapi hal-hal itu jelas menunjukkan kecenderungan manusia sebagai mahkluk filsafat. Berpikir dan merumuskan apa yang dilihat dan dialami atau dipikirkan manusia penting untuk menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu yang dilaluinya. Agar manusia memahami hidupnya, agar manusia merasa nyaman dan mengalami apa yang selama ini sering kita sebut-sebut sebagai kebahagiaan.
Naskah ini pertama-tama dimaksudkan sebagai pembangkit minat untuk berkenalan dengan suatu alam pikiran yang dewasa ini dikenal dengan nama eksistensialisme. Orang mengalami kesukaran untuk mendefinisikan eksistensialisme dengan satu perumusan saja sebab filsuf-filsuf yang digolongkan ke dalamnya atau yang menyebut dirinya sebagai eksistensialis menunjukkan perbedaan-perbedaan anggapan mengenai eksistensi itu sendiri. Satu-satunya hal yang sama di antara mereka ialah bahwa kesemuanya berpendapat bahwa filsafat harus bertitiktolak pada manusia yang kongkret, yaitu manusia sebagai eksistensi dan, sehubungan dengan titiktolak ini, mereka sependapat bahwa, bagi manusia, eksistensi itu mendahului esensi.
Penulis: Fuad Hassan
Penerbit: Pustaka Jaya, 1997
Isi: 141 Halaman (4 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF Scan (teks tidak bisa dicopy)
Sebuah buku yang enak dibaca untuk topik ribet semacan filsafat eksistensialisme. Penggambaran pandangan filsafat dari nama-nama besar eksistensialisme di buku ini akan nyangkut di kepala anda. Sangat menarik menyaksikan bagaimana manusia dengan pikirannya menyelami keberadaan atau kemanusiaannya. Bagi filsuf eksistensialis tentu saja jargon utamanya adalah 'eksistensi mendahului esensi'. Hal lain yang juga jadi sorotan filsuf kelompok ini adalah pentingnya kebebasan sebagai sarana dan syarat mutlak agar manusia bisa meng-ADA. Bahkan Nietzsche secara lebih tegas mengatakan bahwa gagasan atau sosok tuhan perlu mati supaya eksistensi manusia mencapai puncaknya. 'God is dead', katanya.
Sebenarnya kita dalam hidup sehari-hari sering berfilsafat. Dalam obrolan di bus kota, di pasar, di kantor atau dalam acara-acara sosial. "Hidup ini hanya sementara". "Gak ada kesenangan dalam hidup ini. Kesenangan hanya ada setelah maut menjemput, di surga nanti" dan seterusnya dan seterusnya. Filsafat 'rumahan' begini tentunya tidak akan berkembang menjadi rumusan yang mengikuti kaidah logika filsafat. Tapi hal-hal itu jelas menunjukkan kecenderungan manusia sebagai mahkluk filsafat. Berpikir dan merumuskan apa yang dilihat dan dialami atau dipikirkan manusia penting untuk menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu yang dilaluinya. Agar manusia memahami hidupnya, agar manusia merasa nyaman dan mengalami apa yang selama ini sering kita sebut-sebut sebagai kebahagiaan.
Naskah ini pertama-tama dimaksudkan sebagai pembangkit minat untuk berkenalan dengan suatu alam pikiran yang dewasa ini dikenal dengan nama eksistensialisme. Orang mengalami kesukaran untuk mendefinisikan eksistensialisme dengan satu perumusan saja sebab filsuf-filsuf yang digolongkan ke dalamnya atau yang menyebut dirinya sebagai eksistensialis menunjukkan perbedaan-perbedaan anggapan mengenai eksistensi itu sendiri. Satu-satunya hal yang sama di antara mereka ialah bahwa kesemuanya berpendapat bahwa filsafat harus bertitiktolak pada manusia yang kongkret, yaitu manusia sebagai eksistensi dan, sehubungan dengan titiktolak ini, mereka sependapat bahwa, bagi manusia, eksistensi itu mendahului esensi.