Hagakure: The Wisdom of Samurai
Judul: Hagakure: The Wisdom of Samurai
Penulis: Yamamoto Tsunetomo
Penerbit: Oncor, 2012
Isi: 160 Halaman (1 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF
Samurai dalam benak kita biasanya merupakan orang yang mahir menggunakan pedang, ikut berperang, dan hidup ratusan tahun silam di Jepang. Kesamuraian seseorang bukan hanya melekat pada mereka yang mahir menggunakan pedang serta ikut berperang saja, melainkan setiap orang yang menjalankan falsafah hidup ‘bushido’. Bushido merupakan filsafat tentang prinsip-prinsip hidup bagi seorang samurai atau kaum ‘bushi’ (orang yang berperang). Bushido yang diajarkan kepada para samurai, lahir dari perpaduan Buddhisme, Chu-Thu, Konfusianisme dan Shinto.
Ada delapan prinsip dalam ajaran bushido. Pertama, prinsip Jin untuk mengembangkan pemahaman supaya bersimpati kepada orang lain. Kedua, Gi berarti menjaga etika yang benar. Ketiga, Chu menunjukkan kesetiaan kepada junjungan. Keempat, Ko yang berarti menghormati dan menyayangi orang tua. Kelima, Rei menunjukkan hormat pada sesama. Keenam, Chimemiliki arti meningkatkan kebijaksanaan dengan memperluas pengetahuan. Ketujuh, Shinuntuk senantiasa jujur sepanjang waktu. Terakhir, prinsip Tei untuk mencintai orang tua dan juga mereka yang patut dikasihani. Kedelapan prinsip tersebut harus senantiasa dijalankan supaya seorang samurai tidak kehilangan arah dalam menjalani kehidupannya.
Buku Hagakure: The Wisdom of Samurai ditulis untuk mengantarkan pembaca pada pemikiran para samurai, ketika Jepang memasuki periode Zaman Edo (1600-1868). Jaman Edo merupakan zaman kedamaian setelah adanya masa peperangan antara Shogun Hideyoshi Toyotomi dengan Ieyasu Tokugawa. Peperangan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Ieyasu Tokugawa yang selanjutnya membawa kedamaian di Jepang. Zaman kedamaian ini secara tidak langsung mengubah kehidupan para samurai. Para samurai yang awalnya hidup dalam tekanan perang kemudian menyarungkan pedang dan menjalani kehidupan biasa.
Perubahan itu turut berpengaruh terhadap cara hidup kaum samurai. Cara hidup mereka pada awalnya penuh dengan kewaspadaan terhadap para musuh, terbiasa hidup dalam keprihatinan, dan dekat dengan kematian. Namun, pada masa damai itu, hidup mereka penuh dengan ketentraman serta jauh dari hidup prihatin dan serba terbatas.
Perbedaan perspektif antara samurai pada generasi masa damai dengan generasi sebelumnya, mengilhami Yamamoto Tsunetomo untuk menulis buku ini. Hal ini dilakukan sebagai bentuk keprihatinannya akan perubahan pemikiran para samurai terhadap filsafat bushido. Samurai cenderung melupakan dan tidak lagi menjunjung tinggi bushidonya. Akibatnya, banyak samurai yang tidak lagi memiliki prinsip hidup yang jelas. Yamamoto ingin menghidupkan kembali filsafat bushido itu melalui penceritaan potongan kisah-kisah keseharian para samurai.
Selain ingin menghidupkan kembali filsafat bushido, Yamamoto juga mengembangkan pemikiran filsafatnya sendiri. Pemikiran filsafatnya terpengaruh oleh ajaran Zen dan Konfusianisme yang popular pada waktu itu. Pengaruh ini tak lepas dari kepemimpinan Ieyasu Tokugawa yang pada waktu itu menerapkan system feodalisme di dalam masyarakat. Namun, terlepas dari pengaruh system feodalistik dalam pemerintahan, buku ini dapat memberikan pencerahan bagi setiap orang yang ingin menjadi seorang ‘samurai’ sejati. Menurut Yamamoto, dengan berpegang pada empat falsafah hidup samurai, seseorang akan menjadi samurai sejati tanpa harus menghunuskan pedang di medan perang.
Prinsip yang pertama, setiap samurai harus berpegang teguh pada bushidonya. Bushido memiliki tujuan sebagai sebuah kode kehormatan dan aturan hidup bagi para samurai. Kedua, selalu melayani junjungannya dengan segenap kekuatan. Melayani junjungan adalah tugas terhormat bagi seorang samurai. Oleh karena itu, jika ia gagal dalam melayani dan menjalankan tugas dari junjungannya maka ia tidak dapat menjadi seorang samurai yang sejati. Ketiga, menjalankan kewajibanmu sebagai anak. Prinsip terakhir berbuat baik kepada orang lain dengan cinta dalam hatimu. Keempat prinsip tersebut harus dipegang teguh oleh setiap orang yang berkeinginan menjadi ‘samurai’.
Meskipun buku ini telah ada kurang lebih 300 tahun silam, namun isinya masih sangat relevan jika dilihat dalam konteks kehidupan saat ini. Dapat dikatakan demikian karena buku ini mengandung banyak pengetahuan serta kebijaksanaan. Pengetahuan dan kebijaksanaan yang ada dalam buku ini tidak hanya dikhususkan pada seorang samurai. Lebih dari itu, pengetahuan dan kebijaksanaan yang ada juga diperuntukkan bagi mereka yang ingin memahami kehidupan samurai.
Dengan mengambil kisah keseharian para samurai, Yamomoto secara implicit ingin menjelaskan inti filsafat samurai dengan lebih mudah. Melalui penceritaan kisah-kisah para samurai, pembaca diajak untuk menghayati dan merefleksikan apa yang selama ini dijalani. Walaupun, contoh kisah yang disajikan terdengar naïf serta lucu bagimereka yang berfikir logis. Namun tetap asyik untuk dibaca sebagai bacaan di waktu senggang. Seperti penggalan contoh kisah berikut yang terdengar naïf dan lucu jika diinterpretasikan secara bebas.
“Mimpi-mimpi seseorang itu mencerminkan hati dan jiwanya. Saya sering mimpi bertarung hingga mati atau melakukan seppuku (bunuh diri), dan ketika mimpi itu terus menerus mendatangi saya, akhirnya saya terbiasa dengan gagasan tentang kematian dan merasa nyaman dengannya.”
Kelebihan lain buku ini ialah mampu mengangkat kisah keseharian yang sederhana ke dalam rangkaian kata penuh makna. Selain itu, kisah-kisah yang disajikan terlihat tidak monoton. Di sisi lain, buku ini menuntut pembacanya untuk mau berpikir lebih cerdas dan membaca lebih cermat. Tuntutan ini semata-mata agar para pembaca benar-benar dapat merefleksikan kehidupannya dengan para samurai. Dengan cara merefleksikan pemikiran tersebut, secara tidak langsung pembaca sudah menjadi samurai sejati. Demikianlah pemikiran samurai, tetapi pilihan tetap ada di tangan pembaca. Ingin menjadi seorang samurai atau manusia biasa.
Penulis: Yamamoto Tsunetomo
Penerbit: Oncor, 2012
Isi: 160 Halaman (1 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF
Samurai dalam benak kita biasanya merupakan orang yang mahir menggunakan pedang, ikut berperang, dan hidup ratusan tahun silam di Jepang. Kesamuraian seseorang bukan hanya melekat pada mereka yang mahir menggunakan pedang serta ikut berperang saja, melainkan setiap orang yang menjalankan falsafah hidup ‘bushido’. Bushido merupakan filsafat tentang prinsip-prinsip hidup bagi seorang samurai atau kaum ‘bushi’ (orang yang berperang). Bushido yang diajarkan kepada para samurai, lahir dari perpaduan Buddhisme, Chu-Thu, Konfusianisme dan Shinto.
Ada delapan prinsip dalam ajaran bushido. Pertama, prinsip Jin untuk mengembangkan pemahaman supaya bersimpati kepada orang lain. Kedua, Gi berarti menjaga etika yang benar. Ketiga, Chu menunjukkan kesetiaan kepada junjungan. Keempat, Ko yang berarti menghormati dan menyayangi orang tua. Kelima, Rei menunjukkan hormat pada sesama. Keenam, Chimemiliki arti meningkatkan kebijaksanaan dengan memperluas pengetahuan. Ketujuh, Shinuntuk senantiasa jujur sepanjang waktu. Terakhir, prinsip Tei untuk mencintai orang tua dan juga mereka yang patut dikasihani. Kedelapan prinsip tersebut harus senantiasa dijalankan supaya seorang samurai tidak kehilangan arah dalam menjalani kehidupannya.
Buku Hagakure: The Wisdom of Samurai ditulis untuk mengantarkan pembaca pada pemikiran para samurai, ketika Jepang memasuki periode Zaman Edo (1600-1868). Jaman Edo merupakan zaman kedamaian setelah adanya masa peperangan antara Shogun Hideyoshi Toyotomi dengan Ieyasu Tokugawa. Peperangan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Ieyasu Tokugawa yang selanjutnya membawa kedamaian di Jepang. Zaman kedamaian ini secara tidak langsung mengubah kehidupan para samurai. Para samurai yang awalnya hidup dalam tekanan perang kemudian menyarungkan pedang dan menjalani kehidupan biasa.
Perubahan itu turut berpengaruh terhadap cara hidup kaum samurai. Cara hidup mereka pada awalnya penuh dengan kewaspadaan terhadap para musuh, terbiasa hidup dalam keprihatinan, dan dekat dengan kematian. Namun, pada masa damai itu, hidup mereka penuh dengan ketentraman serta jauh dari hidup prihatin dan serba terbatas.
Perbedaan perspektif antara samurai pada generasi masa damai dengan generasi sebelumnya, mengilhami Yamamoto Tsunetomo untuk menulis buku ini. Hal ini dilakukan sebagai bentuk keprihatinannya akan perubahan pemikiran para samurai terhadap filsafat bushido. Samurai cenderung melupakan dan tidak lagi menjunjung tinggi bushidonya. Akibatnya, banyak samurai yang tidak lagi memiliki prinsip hidup yang jelas. Yamamoto ingin menghidupkan kembali filsafat bushido itu melalui penceritaan potongan kisah-kisah keseharian para samurai.
Selain ingin menghidupkan kembali filsafat bushido, Yamamoto juga mengembangkan pemikiran filsafatnya sendiri. Pemikiran filsafatnya terpengaruh oleh ajaran Zen dan Konfusianisme yang popular pada waktu itu. Pengaruh ini tak lepas dari kepemimpinan Ieyasu Tokugawa yang pada waktu itu menerapkan system feodalisme di dalam masyarakat. Namun, terlepas dari pengaruh system feodalistik dalam pemerintahan, buku ini dapat memberikan pencerahan bagi setiap orang yang ingin menjadi seorang ‘samurai’ sejati. Menurut Yamamoto, dengan berpegang pada empat falsafah hidup samurai, seseorang akan menjadi samurai sejati tanpa harus menghunuskan pedang di medan perang.
Prinsip yang pertama, setiap samurai harus berpegang teguh pada bushidonya. Bushido memiliki tujuan sebagai sebuah kode kehormatan dan aturan hidup bagi para samurai. Kedua, selalu melayani junjungannya dengan segenap kekuatan. Melayani junjungan adalah tugas terhormat bagi seorang samurai. Oleh karena itu, jika ia gagal dalam melayani dan menjalankan tugas dari junjungannya maka ia tidak dapat menjadi seorang samurai yang sejati. Ketiga, menjalankan kewajibanmu sebagai anak. Prinsip terakhir berbuat baik kepada orang lain dengan cinta dalam hatimu. Keempat prinsip tersebut harus dipegang teguh oleh setiap orang yang berkeinginan menjadi ‘samurai’.
Meskipun buku ini telah ada kurang lebih 300 tahun silam, namun isinya masih sangat relevan jika dilihat dalam konteks kehidupan saat ini. Dapat dikatakan demikian karena buku ini mengandung banyak pengetahuan serta kebijaksanaan. Pengetahuan dan kebijaksanaan yang ada dalam buku ini tidak hanya dikhususkan pada seorang samurai. Lebih dari itu, pengetahuan dan kebijaksanaan yang ada juga diperuntukkan bagi mereka yang ingin memahami kehidupan samurai.
Dengan mengambil kisah keseharian para samurai, Yamomoto secara implicit ingin menjelaskan inti filsafat samurai dengan lebih mudah. Melalui penceritaan kisah-kisah para samurai, pembaca diajak untuk menghayati dan merefleksikan apa yang selama ini dijalani. Walaupun, contoh kisah yang disajikan terdengar naïf serta lucu bagimereka yang berfikir logis. Namun tetap asyik untuk dibaca sebagai bacaan di waktu senggang. Seperti penggalan contoh kisah berikut yang terdengar naïf dan lucu jika diinterpretasikan secara bebas.
“Mimpi-mimpi seseorang itu mencerminkan hati dan jiwanya. Saya sering mimpi bertarung hingga mati atau melakukan seppuku (bunuh diri), dan ketika mimpi itu terus menerus mendatangi saya, akhirnya saya terbiasa dengan gagasan tentang kematian dan merasa nyaman dengannya.”
Kelebihan lain buku ini ialah mampu mengangkat kisah keseharian yang sederhana ke dalam rangkaian kata penuh makna. Selain itu, kisah-kisah yang disajikan terlihat tidak monoton. Di sisi lain, buku ini menuntut pembacanya untuk mau berpikir lebih cerdas dan membaca lebih cermat. Tuntutan ini semata-mata agar para pembaca benar-benar dapat merefleksikan kehidupannya dengan para samurai. Dengan cara merefleksikan pemikiran tersebut, secara tidak langsung pembaca sudah menjadi samurai sejati. Demikianlah pemikiran samurai, tetapi pilihan tetap ada di tangan pembaca. Ingin menjadi seorang samurai atau manusia biasa.