Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat

Gambar Produk 1
Promo
Rp 10.000 Rp 5.000
Judul: Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat
Penulis: Hassan Hanafi
Penerbit: Paramadina, 1999
Isi: 337 Halaman (5 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF Scan

Oksidentalisme dapat didefinisikan sebagai "paham, pengetahuan, atau pandangan dunia Timur tentang Eropa, Amerika, atau Barat umumnya". Lebih khusus, oksidentalisme berarti pandangan dan pengetahuan dunia Islam tentang dunia Barat. Sebagai istilah, serta wacana akademis, ia baru muncul sejak awal 1980-an.

Kemunculannya berkaitan erat dengan penerbitan buku Orientalism (1979), karya Edward Said, guru besar Universitas Columbia, New York. Karya ini segera menimbulkan heboh dan kontroversi di lingkungan dunia akademis Barat, yang biasa disebut kaum orientalis. Menurut Said, orientalisme (paham dan pengetahuan Barat tentang dunia Timur) bukan sekadar wacana akademis, melainkan juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, bahkan religius.

Secara politis, penelitian, kajian, dan pandangan Barat tentang dunia oriental -dalam kajian Said, khususnya dunia Islam- bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa guna menguasai wilayah-wilayah muslim. Dan kolonialisme Eropa, tak bisa tidak, berkaitan dengan kepentingan ekonomi, sekaligus kepentingan keagamaan, penyebaran Kristen.

Ketiga kepentingan yang saling terkait itu tersimpul dalam slogan tentang ekspansi Eropa ke kawasan dunia Islam, yang mencakup three G's -tiga "G". Yakni glory (kejayaan kekuasaan politik kolonialisme), gold (keberlimpahan emas dan kekayaan ekonomi), serta gospel, penginjilan. Semua motif dan kepentingan orientalisme ini, yang dibungkus dengan "wacana ilmiah dan akademis", dalam pandangan Said, secara implisit cenderung bersifat rasis.

Kritik Said mengguncangkan sendi-sendi orientalisme itu. Hasilnya, di kalangan banyak sarjana Barat, yang biasa disebut "orientalis", istilah orientalisme menjadi sesuatu yang pejoratif. Mereka tidak mau lagi disebut "orientalis", tetapi sebagai "Islamisis", jika mereka mengkaji Islam. Atau "Indonesianis", jika mereka mengkaji Indonesia.

Kritik Said mendorong kalangan sarjana muslim mengembangkan sebuah "ilmu baru", yang disebut oksidentalisme. Dengan ilmu ini, mereka bertujuan menggali dan mengungkapkan dunia Barat berdasarkan perkembangan berbagai aspek kehidupan Barat itu sendiri. Gagasan yang mulai menemukan momentumnya menjelang akhir 1980-an ini belum banyak mencapai kemajuan signifikan.

Memang, pada beberapa pusat akademis dan kajian Islam, seperti Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, telah diperkenalkan mata kuliah oksidentalisme. Tetapi, ia lebih berpusat dan terfokus pada aspek pemikiran dan filsafat Barat. Hasilnya, dalam banyak hal, mata kuliah itu lebih mirip mata kuliah filsafat Barat daripada oksidentalisme yang lebih substantif.

Karya Hassan Hanafi ini merupakan sumbangan penting ke arah pengembangan wacana oksidentalisme. Hassan Hanafi, yang terkenal dengan proyek khazanah warisan lslam dan pembaruan, adalah seorang pemikir filsafat dan kalam asal Mesir yang cukup radikal.

Jika oksidentalisme merupakan wacana akademis dan ilmiah pengimbang orientalisme -bukan "lawan"-nya seperti dikemukakan Komaruddin Hidayat dalam pengantarnya- cakupan kajiannya mestinya tidak terbatas hanya pada bidang filsafat dan pemikiran. Sebagaimana orientalisme, wacana oksidentalisme mencakup kajian dalam bidang antropologi, etnologi, sosiologi, politik, sejarah, dan sebagainya.

Tanpa cakupan multidisipliner seperti itu, oksidentalisme akan gagal menjadi wacana akademis dan ilmiah untuk memahami dunia Barat. Oksidentalisme, beriringan dengan orientalisme yang telah diperbarui, pada gilirannya dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan masyarakat dunia yang lebih damai, atas dasar saling memahami dan menghormati.