Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir
Judul: Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir
Penulis: Taufik Abdullah, Ichlasul Amal, Nurcholish Madjid, dkk.
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1996
Isi: 172 Halaman (3 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF Scan
Lelaki itu, yang biasa dipanggil dikenal sebagai 'pembawa hati nurani umat', telah pergi selamanya. Dialah, Mohammad Natsir, seorang pemikir dan pejuang yang menyelamatkan negeri ini dari perpecahan. Perjuangan yang panjang dan wawasan politiknya yang luas telah mengantarkan Pak Natsir tidak hanya menjadi milik bangsa Indonesia, tapi juga milik dunia, khususnya dunia Islam. Bagi almarhum, 'mengisi kemerdekaan itu sebuah rangkaian rasa bersyukur. Diakuinya, banyak kekurangan di negara kita, tapi dengan kondisi apa pun yang melekat kita harus menerima Republik ini dengan rasa syukur. Mensyukuri nikmat adalah kewajiban'.
Buku ini adalah kumpulan tulisan mengenai M. Natsir yang ditulis oleh beberapa tokoh Islam di Indonesia. Namun, yang menurut saya menarik adalah pembahasan dari Nurcholis Madjid dan Prof. Yusril. Nama yang terakhir mencalonkan diri menjadi presiden RI 2014. Cak Nur mengulas pribadi Natsir sebagai seorang yang humanis, hal ini dipengaruhi oleh kesehatan ruhaniah beliau. Natsir yang menganggap Islam adalah sebuah ideologi berbeda dengan Cak Nur yang berpandangan bahwa Islam itu lebih dari sekedar ideologi, tapi merupakan sumber dari Ideologi. Sedangkan Yusril mencoba membandingkan Natsir dengan tokoh islam di India yaitu, Maududi. Terjadi perbedaan diantara kedua tokoh ini, Natsir lebih bersikap realistik dan pragmatik dalam menentukan sikap politik, sementara Maududi tidak. Natsir menganggap pluralisme masyarakat sebabagi satu hal positif selama tidak bertentangan dengan asas islam, sebaliknya Maududi bersikap negatif terhadap pluralisme masyarakat dan cenderung tidak mau bekerja sama dengan Umat lain. Maududi menulis konsepsi pemerintahan tidak berdasarkan kenyataan karena ia sama sekali tidak pernah masuk / terjun ke lapangan sehingga tulisannya banyak mengandung idealisme yang tinggi sehingga sulit diterapkan di lapangan. sedang Natsir menulis konsepsi berdasarkan pengalaman langsungnya sehingga banyak kompromi dan menerima realitas yang ada, namun tetap memberikan corak keislaman.
Penulis: Taufik Abdullah, Ichlasul Amal, Nurcholish Madjid, dkk.
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1996
Isi: 172 Halaman (3 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF Scan
Lelaki itu, yang biasa dipanggil dikenal sebagai 'pembawa hati nurani umat', telah pergi selamanya. Dialah, Mohammad Natsir, seorang pemikir dan pejuang yang menyelamatkan negeri ini dari perpecahan. Perjuangan yang panjang dan wawasan politiknya yang luas telah mengantarkan Pak Natsir tidak hanya menjadi milik bangsa Indonesia, tapi juga milik dunia, khususnya dunia Islam. Bagi almarhum, 'mengisi kemerdekaan itu sebuah rangkaian rasa bersyukur. Diakuinya, banyak kekurangan di negara kita, tapi dengan kondisi apa pun yang melekat kita harus menerima Republik ini dengan rasa syukur. Mensyukuri nikmat adalah kewajiban'.
Buku ini adalah kumpulan tulisan mengenai M. Natsir yang ditulis oleh beberapa tokoh Islam di Indonesia. Namun, yang menurut saya menarik adalah pembahasan dari Nurcholis Madjid dan Prof. Yusril. Nama yang terakhir mencalonkan diri menjadi presiden RI 2014. Cak Nur mengulas pribadi Natsir sebagai seorang yang humanis, hal ini dipengaruhi oleh kesehatan ruhaniah beliau. Natsir yang menganggap Islam adalah sebuah ideologi berbeda dengan Cak Nur yang berpandangan bahwa Islam itu lebih dari sekedar ideologi, tapi merupakan sumber dari Ideologi. Sedangkan Yusril mencoba membandingkan Natsir dengan tokoh islam di India yaitu, Maududi. Terjadi perbedaan diantara kedua tokoh ini, Natsir lebih bersikap realistik dan pragmatik dalam menentukan sikap politik, sementara Maududi tidak. Natsir menganggap pluralisme masyarakat sebabagi satu hal positif selama tidak bertentangan dengan asas islam, sebaliknya Maududi bersikap negatif terhadap pluralisme masyarakat dan cenderung tidak mau bekerja sama dengan Umat lain. Maududi menulis konsepsi pemerintahan tidak berdasarkan kenyataan karena ia sama sekali tidak pernah masuk / terjun ke lapangan sehingga tulisannya banyak mengandung idealisme yang tinggi sehingga sulit diterapkan di lapangan. sedang Natsir menulis konsepsi berdasarkan pengalaman langsungnya sehingga banyak kompromi dan menerima realitas yang ada, namun tetap memberikan corak keislaman.