Teologi dan Falsafah Hijab

Gambar Produk 1
Promo
Rp 10.000 Rp 5.000
Judul: Teologi dan Falsafah Hijab
Penulis: Murtadha Muthahhari
Penerbit: RausyanFikr Institute, 2013
Isi: 190 Halaman (3 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF Scan (teks tidak bisa dicopy)

Masih ingat dengan hiruk pikuk isu pelarangan hijab di lingkungan instansi BUMN yang dihembuskan oleh kader salah satu partai beberapa saat lalu? Atau munculnya kontroversi yang ditanggapi berlebihan setelah mufasir besar Quraish Shihab mengeluarkan pendapatnya soal jilbab sebagai salah satu bentuk hijab?

Ya, sebagai salah satu kewajiban kaum muslimah, kehadiran hijab di ranah publik sejak lama memancing perdebatan pro dan kontra di masyarakat. Kelompok pro umumnya mendasarkan argumennya pada nash kitab suci seperti QS 24:30-31. Sedangkan kelompok kontra menilai bahwa hijab adalah bentuk penindasan terhadap ruang gerak perempuan, pemaksaan kultur padang pasir, dan sangat patriarkis.

Pendapat kelompok kontra yang pedas tidak sepenuhnya merupakan bentuk salah kaprah dalam memahami perintah hijab. Harus diakui perilaku sejumlah oknum yang mengatasnamakan penerapan syariat dengan melarang perempuan melakukan aktivitas di luar rumah seperti yang terjadi di Arab Saudi ketika perempuan dilarang menyetir mobil sendiri dengan alasan “kepatutan,” turut membentuk opini kubu kontra dan terutama Barat menjadi negatif terhadap konsep hijab.

Lantas, bagaimanakah sebenarnya Islam memandang hijab?

Dengan gayanya yang khas: mengalir lancar, tidak menggurui, dan berperspektif multidimensional, Murtadha Muthahhari mengemukakan problem tersebut dalam buku setebal buku tulis ini. Sebagai catatan, Muthahhari memosisikan diri sebagai pendukung hijab dalam polemik klasik ini. Hanya saja argumen yang dikemukakannya tidak sekadar mengutip ayat tanpa penjelasan rasional. Menurutnya, penggunaan istilah “hijab” dalam Islam termasuk relatif baru. Sebelumnya, ahli hukum Islam memakai kosakata “satr” yang secara harfiah berarti penutup (hal.2). Hanya saja kemudian dikarenakan arti aslinya tersebut, istilah satr dapat dimaknai sebagai “perempuan yang (ditutup) di balik tirai.” Inilah lalu yang membuat salah kaprah bahwa Islam menghendaki perempuan sepenuhnya tertutup di balik tirai rumah, terpenjara secara tampilan fisik maupun potensi kreativitasnya.

Muthahhari juga membantah dari aspek sejarah bila tradisi Islam disebut hendak membatasi perempuan. Sebab menurut risetnya, jauh sebelum Islam datang sudah ada beberapa contoh peradaban manusia yang menerapkan pembatasan ekstrem atas interaksi perempuan di lingkungan sosial (hal.35). Misalkan saja, mendasarkan pendapatnya pada studi Count Arthur Gobineau dalam Story of Civilization, pada masa Iran pra-Islam saat dinasti Sassanid berdiri, yang dimaksud hijab adalah penyembunyian total perempuan di dalam rumah. Tidak boleh ada interaksi dengan orang luar karena konteks masa itu, Raja Anushiravan beserta jajaran elite pemerintahannya gemar mencari perempuan untuk memenuhi hasrat seksual, tidak peduli tua muda, lajang atau sudah bersuami. Sehingga para lelaki mengurung istri maupun anak perempuannya. Ketika tradisi rusak bangsawan Sassanid ini berangsur hilang, Islam kemudian datang untuk memberikan pencerahan bahwa hijab bermaksud melindungi kehormatan perempuan di ranah publik.

Selain tinjauan historis, Muthahhari melandasi dukungannya terhadap hijab yang memanusiakan perempuan sesuai visi Islam dalam beberapa bab seperti alasan filosofis dan sosial (bab 1), alasan ekonomi, psikologis, dan etika (bab 2), dan bagaimana hijab membuat perempuan nampak berwibawa.

Secara keseluruhan, buku Teologi dan Falsafah Hijab yang sejatinya merupakan transkrip rangkuman ceramah Muthahhari di hadapan Ikatan Dokter Muslim Iran ini memiliki nilai lebih berupa bahasa yang mudah dipahami disertai contoh konkret serta analogi yang sederhana.

Di sisi lain, buku yang hingga 2014 ini sudah memasuki edisi cetak ketiganya, setidaknya menunjukkan bahwa kontennya masih tetap relevan dibahas untuk memberikan pencerahan bagi kalangan yang masih memperdebatkan kehadiran hijab dalam kehidupan sehari-hari, entah dari kelompok pendukung maupun penentangnya.