Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan

Gambar Produk 1
Promo
Terlaris
Rp 10.000 Rp 5.000
Judul: Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan
Penulis: Yekti Maunati
Penerbit: LKiS, 2004
Tebal: 434 halaman (10 MB)
Bahasa: Indonesia
Format: Ebook PDF

Setelah menumbangkan Orde Lama, rezim Orde Baru membangun proyek pengendalian stabilitas ekonomi dan politik. Dalam sekian waktu, proyek Orde Baru ini cukup berhasil, meski
sebetulnya perlawanan-perlawanan, terutama yang dilakukan masyarakat sipit,tidak pernah berhenti. Model pengendalian yang dilakukan Orde Baru yang utama, misalnya melalui bahaya
laten PKI, isi SARA, pembonsaian partai politik, dan pengerukan potensi-potensi daerah.

Konflik-konflik yang terus terjadi di Indonesia sampai hari ini, hampir selalu masih dikaitkan dengan Orde Baru. Beragam konflik, diyakini sebagai akibat dari pengendalian yang dilakukan Orde Baru, yang telah mencengkram puluhan tahun. Masyarakat Dayak, sebagai salh satu etnik di Indonesia sudah barang tentu juga tertimpa proyek pengendalian-pengendalian di atas.

Buku yang ada di tangan pembaca ini melacak konstruksi-konstruksi identitas budaya Dayak sehingga dapat menjadi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi. Bagi komunitas Dayak, identitas budaya sangat penting dan penanda-penanda keDayakan mereka kerap kali dipersoalkan secara terang-terangan. Kekuatan-kekuatan eksternal, melalui komodifikasi kebudayaan Dayak yang mengolahnya lagi di dalam konstruksi sebuah desa tradisional yang otentik sebagai sebuah daerah tujuan wisata, tidak menghancurkan identitas Dayak, sebaliknya
memperkuat identitas dan menciptakan bentuk-bentuk identitas yang baru.

Meskipun pariwisata merupakan pengaruh yang penting dalam konstruksi identitas Dayak, tetapi bukan satu-satunya arena pergulatan identitas tersebut. Di saat yang bersamaan, elit
Dayak berupaya untuk membangun sebuah identitas Dayaj yang “modern”, guna mengalahkan citra-citra yang dominan berlaku tentang Dayak sebagai masyarakat “terbelakang” yang telah
menyebabkan suku Dayak terkucil dari kekuasaan dan kekuatan politik, serta menegaskan merjinalisasi ekonomi mereka.

Dengan cara mengupayakan partisipasi politik yang lebih besar dan berkampanye agar hukum adat Dayak diterima oleh negara, elit Dayak secara efektif menolak citra-citra negatif tentang dirinya. Misalnya, masyarakat Dayak dianggap “primitif”. Tak berpendidikan, dan menegaskan citra diri yang mereka bangun, yaitu sebagai masyarakat “modern” dan merupakan aspiranaspiran yang sah bagi kekuatan dan kekuasaan politik lokal.